daNcefeveR
BiNusian weblog
Technology, Truth, Military-Industrial Complex, Information and Social Order: Pornography and the Public
Categories: Uncategorized

Teknologi membuat kita semakin cepat mengakses informasi. Jaman dulu, kita hanya bisa mengetahui berita dari surat kabar atau majalah, lalu lewat radio dan televisi. Tapi jaman sekarang, gambar, artikel, berita, lagu, video, semuanya dengan mudah bisa kita dapatkan dari internet, bahkan secara gratis. Selain itu, berita yang kita dapatkan lewat internet bahkan bisa lebih cepat dari media elektronik lainnya. Contohnya seperti okezone.com dan detik.com . Hanya selang beberapa menit saja sebuah kejadian terjadi, sudah ada penulis berita amatir atau reporter digital journalism yang mengupload beritanya di website atau blog.

Sayangnya, informasi yang ada di media-media sebenarnya belum tentu bisa kita percaya sepenuhnya. Tak jarang muncul berita yang sengaja menghebohkan sesuatu hanya untuk menarik perhatian massa, atau berita yang sebenarnya belum pasti kebenarannya namun tetap ditayangkan karena media berlomba-lomba untuk menayangkan berita lebih cepat dari media saingan mereka. Memang, seharusnya berita diperuntukkan kepada masyarakat sehingga pers harus memberikan berita yang jelas dan jujur. Tapi faktanya, dengan adanya konglomerasi media, informasi-informasi itu dikontrol dan dibatasi, jangan sampai berita yang tersebar mencemarkan nama baik pemiliknya. Secara kasat mata, berita itu sebenarnya sudah dimodifikasi untuk kepentingan para pemilik media. Sehubungan dengan fungsi pers, pers harus menjembatani antara masyarakat dengan pemerintah. Peran mereka tidak hanya menjadi wadah bagi masyarakat namun juga sebagai perpanjangan  tangan pemerintah. Karena ini juga, mereka tidak boleh mencemarkan nama baik pemerintah, ada saja berita yang ditutup-tutupi. Dan pastinya ada juga berita-berita yang memang dilarang pemerintah untuk disebarkan ke masyarakat, misalnya rahasia Negara.

Seperti yang ditulis Garry Krug di bab 6, orang-orang dengan kekuatan sosial memiliki kendali atas artikulasi pengetahuan (informasi) dan kekuasaan. Mereka punya kemampuan untuk menciptakan dan menggunakan informasi dengan kekuasaan mereka, untuk mempengaruhi subjektivitas orang yang membaca/mendengarnya dan menyiarkan suatu informasi secara frekuen agar berita tersebut menjadi topik diskusi masyarakat. Ini sesuai dengan Teori Agenda Setting. Dalam kondisi tertentu, peneliti menunjukkan bahwa media massa benar-benar dapat menentukan agenda bagi khalayak yang spesifik, paling tidak pada suatu tingkat agregatif (Shaw dan McCombs, 1977). Karena faktor-faktor inilah, kita harus bisa menyaring informasi yang kita terima secara kritis.

Bicara tentang informasi, media pun mengikuti perkembangan budaya yang ada di masyarakat. Sebelum abad 20, media menampilkan berita-berita dengan konservatif. Namun mulai dari abad 20, film dengan unsur seks mulai muncul. Hal ini, walau awalnya menimbulkan kontroversi, namun lambat laun justru menjadi salah satu “budaya” yang meluas dan ada di media-media.  Hampir semua film Barat menampilkan adegan ranjang, atau wanita-wanitanya memakai baju yang terbuka. Unsur ini lalu malah dijadikan bahan untuk meraup keuntungan oleh media. Karena tak dapat dipungkiri, masyarakat justru semakin tertarik dan suka pada berita-berita dan film yang mengandung kedua unsur tersebut. Dari film, unsur ini digunakan untuk media cetak. Banyak majalah-majalah khusus pria yang isinya adalah foto-foto seksi wanita, bahkan bugil.

Seperti yang saya tulis di atas, teknologi memang memiliki sisi positif yang membuat kita dapat mengakses informasi dengan lebih mudah dan cepat. Tapi justru hal ini juga sekaligus merupakan sisi negatif dari perkembangan teknologi tersebut. Informasi yang mengandung unsur seks dan pornografi bisa dengan mudah disebarkan di internet. Gambar, artikel, dan video, semuanya bisa didapatkan dengan browsing dan streaming. Banyak sekali situs porno yang ada sekarang ini, dan jumlahnya terus bertambah.

Hal ini memberikan dampak yang buruk bagi bangsa, karena mengakibatkan regresi moral. Terutama bagi anak-anak yang dibawah umur. Di Indonesia misalnya, memang sudah dibuat Undang-Undang Pornografi. Tapi bukan berarti dengan adanya UUP tersebut, arus tersebarnya informasi yang mengandung unsur ini bisa ditahan. Selalu ada cara untuk mendapatkan informasi lewat internet.  Dengan adanya Personal Computer atau komputer pribadi yang memiliki akses internet, orang tua sekalipun akan sangat sulit untuk mengontrol anak-anaknya untuk tidak membuka situs-situs tersebut. Mereka bisa secara diam-diam menonton video porno dan hal ini bisa menimbulkan rasa penasaran dalam diri mereka, yang berujung tindakan asusila. Kasus tentang pemerkosaan yang dilakukan oleh anak-anak di bawah umur tidak jarang kita dengar. Anak berusia 10 tahun saja bisa memperkosa seorang balita hanya karena menonton video porno kemarin malamnya di rumah temannya.  Seks bebas juga semakin marak, karena di film-film Barat, mereka menampilkan seks bebas yang tidak dianggap tabu di budaya mereka. Namun di Indonesia yang masih menganut budaya timur, hal tersebut bukan merupakan hal yang pantas untuk ditiru atau ditampilkan.

Film-film tersebut, walau memiliki rating usia,tapi seringkali diabaikan. Memang, di Indonesia, jika ada film yang adegannya terlalu tak senonoh, akan di-cut­ ­dan disensor. Tapi alangkah baiknya jika memang rating tersebut adalah untuk usia 18 tahun ke atas, orang-orang yang menonton atau menjual DVD tersebut harus memastikan dulu dengan meminta KTP.  Hal ini mungkin bisa menjadi perwujudan dari kepedulian pemerintah terhadap moral bangsa dan perkembangan psikologis anak-anak. Dan tentunya, orang tua juga harus sebisa mungkin memberikan pendidikan tentang hal ini kepada anak mereka.

Sumber :

Gary Krug. (2005). Communication Technology and Cultural Change, Sage Publication. London. ISBN: 07619 7200 5 (GK)

Teori Penentuan Agenda (Agenda Setting Theory)

JEMIMA ROSELYN MARYONO – 04PFO – 1301033690

Leave a Reply